Di Bandung bagian utara—Perbukitan Dago
Pakar—terdapat Goa Jepang untuk benteng pertahanan militer, gudang
amunisi, dan pos pengintai guna melihat gerak-gerik musuh. Begitu pula
di wilayah Bandung Selatan tepatnya di Kecamatan Soreang Desa Karamat
Mulya daerah Gunung Sadu juga terdapat saksi bisu peninggalan invasi
Militer Jepang berupa goa. Goa tersebut berada di seputar gunung yang
digunakan Jepang tahun 1942, fungsinya untuk mencegat, merebut, dan
menguasai jalur distribusi pangan Kolonial Belanda dari Bandung
Selatan, pos militer, dan benteng pertahanan serta penyergapan musuh
yang melintasi sekitar jalan utama Soreang. Lebih lanjut tulisan ini
ingin sedikit mengurai mengapa ada Goa Jepang di Gunung Sadu. Untuk
mengetahui hal itu terlebih dahulu saya uraikan kondisi geografis
wilayah tersebut.
Sekelumit Wilayah Geografis
Gunung Sadu di Desa Karamat Mulia berada di Kecamatan Soreang
Kabupaten Bandung. Wilayah yang termasuk Bandung Selatan ini berjarak
±20 Km dari Kota Bandung. Desa ini dapat dicapai menggunakan angkutan
kota di Terminal Leuwi Panjang dengan trayek Bandung - Soreang atau
Bandung – Ciwidey. Jika menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor
dari Kota Bandung hanya membutuhkan waktu tempuh sekira 1 jam 20 menit.
Kecamatan Soreang merupakan daerah yang berada diketinggian 732 dpl
sampai 895 dpl dengan suhu harian rata-rata berkisar antara 22° C sampai
30° C (Monografi Kec. Soreang, 2005). Suhu wilayah yang relatif sejuk
tersebut membuat wilayah ini cocok untuk menanam padi, buah-buah dan
sayur-sayuran. Namun tetap komoditi utama daerah ini ialah padi dengan
luas lahan sekira 115 ha atau sekira 54,8% dari total luas wilayahnya.
Sawah di desa ini ditanami tiga kali setahun dengan pasokan air dari
Sungai Cibeurem yang melintas daerah ini.
Perbukitan Sadu yang mengelilingi desa Karamat Mulya berbatasan
dengan Desa Pamekaran di utara, Desa Soreang di sebelah timur, Desa
Sadu di sebelah barat, Desa Sukajadi di sebeah barat daya, Desa
Sukanagara di selatan, dan Desa Panyirapan di tenggara (Aryo, 2005).
Wilayah perbukitan ini dapat ditempuh dari alun-alun Kecamatan Soreang
menggunakan kendaraan bermotor sekira 12 menit. Jalan beraspal yang
mulus memudahkan seseorang untuk mencapai wilayah Gunung Sadu.
Desa ini secara geografis juga dekat dengan Kota Bandung di
sebelah utara dan Ciwidey di sebelah selatan. Daerah ini dieksploitasi
secara masif memasuki jaman Kolonial Belanda dengan aturan preangerstelsel padapertengahan
abad ke-19. Hal tersebut membuat wilayah Bandung Selatan ini dijadikan
tempat menanam komoditi seperti: kina, teh, kopi, dan cengkeh. Oleh
karena itu infrastruktur berupa jalan dan jalur kereta api dibangun
untuk mempercepat pengangkutan hasil komoditi ini ke pelbagai daerah.
Ingleson (2004) mengungkap bahwa pembukaan jalan-jalan yang tertutup dan
lebih penting lagi, sistem kereta api—sejak tahun 1860-an—telah
membawa kota dan desa menjadi lebih dekat dan semakin maju. Pada awal
abad ke-20, jaringan kereta api yang berpusat di Surabaya (kota
pelabuhan utama di Jawa Timur), Semarang—kota utama pelabuhan di Jawa
tengah, dan Bandung (ibu kota Jawa Barat di Wilayah pedalaman) serta di
pesisir utara ibukota Batavia, meluaskan jaringannya sampai ke daerah
pedalaman.
Di sekitar Bandung sendiri, jalur kereta api menuju Bandung
Selatan yang dibangun 1917 selesai pada tahun 1925 yang menghubungkan
Kota Bandung dengan perkebunan teh di Ciwidey dengan trayek
Cikudapateuh-Dayeuhkolot-Banjaran- Soreang- berakhir di pos Ciwidey
(Arsip Nasional Republik Indonesia, 1976: LXIX-LXX). Namun, jalur tersebut tidak beroprasi lagi sejak 1970-an
karena jalur transportasi lebih difokuskan untuk sarana jalan raya.
Desa Karamat Mulya merupakan salah satu tempat perlintasan rel kereta
api menuju Ciwidey, sampai saat ini masih terlihat jelas berupa sisa
rel kereta api di sepanjang rumah penduduk dan tanah gundukan.
Akibat pembukan lahan, wilayah permukiman, dan perluasan
komoditi ini membuat Bandung Selatan termasuk Soreang menjadi salah
satu daerah pemasok hasil bumi untuk kepentingan Kolonial Belanda.
Komoditi pertanian dan perkebunan semakin menjadi komersial sejak preangerstelsel dihapus
kemudian diganti dengan Undang-undang Agraria 1871, wilayah Priangan
dan khususnya Bandung Selatan kian berkembang. Peristiwa tersebut
sebenarnya menandai secara kongkret kapitalisasi perekonomian perdesaan
di segala lini. Kalau menggunakan istilah Ricklefs dengan “periode
liberal” yang membuka ruang bagi perusahaan swasta asing yang ingin
menanamkan modal di Indonesia—terutama wilayah Jawa dan Sumatera
(Rickfles, 2005: 190).
Maka pernyataan Antlöv juga menyiratkan bahwa sejak jaman Preangerstelsel
pun wilayah tersebut sudah banyak mengalami perubahan dan pada dekade
awal abad ke-20 Bandung menjadi salah satu wilayah ekonomi yang tumbuh
pesat di Hindia Belanda. Perkebunan, perdagangan, pelbagai aktivitas
ekonomi kota dan proyek-proyek pengembangan infrastruktur membuka
banyak lapangan kerja. Antara 1890-1920 Bandung dan distrik-distrik di
sekitarnya mengalami pertumbuhan penduduk 10% per tahun (Antlöv, 2003).
Bandung Selatan termasuk Soreang pun terkena dampak kebijakan
pemerintah kolonial guna menjalankan program instensifikasi pertanian
dan perkebunan. Infrastruktur seperti: irigasi, sarana transportasi,
jalan raya, dan kerata api dibangun untuk mengeruk keuntungan dari
wilayah Bandung Selatan ini. Lalu pemerintah kolonial menerapkan sistem
administratif untuk mengatur penduduk dalam sebuah wilayah yang
dinamakan desa (Lombard, 2005). Dengan sistem pengorganisasian wilayah,
penduduk, dan aturan untuk meningkatkan produksi perkebunan dan
pertanian maka wilayah Bandung selatan semakin penting menyediakan
hasil bumi yang besar untuk pasokan kebutuhan Hindia-Belanda dan
ekspor.
Bekas rel kereta api menuju Ciwidey-Bandung yang dibangun Belanda tahun 1917.
Sejak 1970-an banyak rel hilang atau tertutup bangunan rumah atau gundukan tanah.
Mengapa Goa Jepang Ada Di Sana?
Ketika saya sampai di Desa Karamat Mulya ditempat Pa Ac
(70 th)—informan— yang merupakan penduduk asli setempat, saya langsung
menuju Gunung Sadu. Pukul 11.12 WIB saya berjalan ditemani oleh kawan
bernama Pt yang telah selesai melakukan riset tentang sumber daya air
di desa ini. Kami menyusuri jalan desa yang di sebelah kiri atau
kananya terdapat rumah penduduk. Permukiman penduduk tersebut memiliki
pola cluster dan menyebar mengikuti kontur perbukitan.
Sebenarnya Desa Karamat Mulya ini muncul baru sekira tahun 1980-an.
Desa yang telah lama ada—sekira1920-an—yaitu desa Sukanagara di sebelah
selatan bagian samping wilayah Gunung Sadu. Perjalanan menuju gunung
tidaklah sulit, karena jalan di dalam desa telah diaspal sejauh 520
meter dan sisanya jalan setapak menuju perbukitan sekira 450 meter.
Menurut informasi beberapa penduduk desa, terdapat tiga sampai
enam goa Jepang di Gunung Sadu ini. Menapaki jalan yang menanjak dan
lama-kelamaan menjadi jalan setapak akhirnya sampai juga di kaki Gunung
Sadu. Awalnya goa hampir tidak ditemukan karena pintu masuk telah
tertutup oleh tinggi dan rimbunnya pohon bambu. Namun setelah mencari
dengan menyisiri kaki gunung akhirnya ditemukan juga satu goa. Bagian
menuju mulut goa ini berundak dengan ruang bagian depan yang menurun
mencapai kedalaman dua meter. Separuh mulut goa tertutup oleh undakan
tanah basah yang kemungkinan merupakan timbunan tanah longsor akibat
hujan yang terus-menerus. Kondisi lembab dan dingin pun menyertai jika
berada di dalam goa ini.
Mulut goa tersebut memiliki tinggi sekira 1 meter, sementara itu
bagian dalam goa memiliki ketinggian sekira 3,5 meter dengan panjang
goa ±15 meter dan lebar sekira 7 meter. Kondisi goa di lantai bawahnya
terlihat agak berlumpur dan basah. Kondisi goa juga memprihatinkan
karena ditemukan sampah plastik dan kaleng minuman didalamnya. Bagian
atas goa juga mengeluarkan rembesan air yang berasal dari tanah di
atasnya sehingga, bagian goa paling tengah dan dalam terendam sekira 15
cm². Berbeda dengan goa di Dago Pakar yang melingkar dan menyatu, goa
di Gunung Sadu ini tidak terintegrasi dengan goa lainnya (menyambung)
karena satu goa hanya terdapat satu ruangan.
Pintu masuk goa ditumbuhi Pohon Bambu ditutup penduduk karena sering dipakai untuk maksiat.
Posisi goa di bagian lain yang telah
tertutup mengindikasikan bahwa antargoa dibuat terpencar satu sama lain
namun tetap mengikuti pola gunung yang menghadap ke jalan raya, sawah,
dan perlintasan kereta api. Kemungkinan Tentara Jepang membuat goa satu
per satu karena kendala kontur tanah yang kemiringannya cukup tajam.
Di samping itu karena kondisi tanah yang basah, kurang memungkinkan
untuk membuat goa dengan pola menyambung satu sama lain. Kelebihan
posisi goa ini ditutupi oleh rimbunya pohon bambu dan tanaman liar
gunung lainnya sehingga, relatif aman sebagai pos militer.
Penelusuran goa lainnya berdasarkan informasi penduduk setempat gagal
ditemukan. Pasalnya goa telah tertutup tanah longsor dan sengaja
ditutup oleh penduduk setempat. Aneh juga memang kalau sebuah
peninggalan sejarah ditutup oleh penduduk setempat. Namun setelah dicek
ternyata goa tersebut ditutup dengan alasan karena kerap kali
digunakan pemuda setempat untuk mabuk-mabukan dan berbuat mesum. Ketika
banyak warga desa yang mengetahui itu—terutama orang tua—mereka
berbondong-bondong menutup goa tersebut agar tidak dapat dipergunakan
untuk berbuat maksiat lagi.
Goa yang tersisa hanya satu yang ditemukan letaknya tidak jauh
dari kaki gunung. Karena posisi goa lainnya sengaja ditimbun penduduk
atau longsor maka bentuk goa lain tidak diketahui secara pasti mengenai
panjang, lebar, dan tingginya berapa. Hujan yang terjadi setiap saat
di gunung ini juga turut mempercepat tumbuhnya tanaman liar (seperti
pohon bambu) yang menutupi mulut goa sehingga menyulitkan pencarian
goa. Meski demikian, sisa goa yang hanya satu ini membuktikan bahwa
Militer Jepang menjadikan Soreang (Gunung Sadu) sebagai salah satu
tempat penting dalam invasinya di wilayah Priangan.
Letak Desa Karamat Mulya yang begitu strategis seperti ”jalur
sutra”, membuat pihak Jepang membangun goa di sekitar wilayah ini.
Sawah dan perkebunan yang menghampar di sepanjang wilayah ini menjadi
salah satu sumber pasokan makanan Militer Jepang untuk perang di
kawasan Asia-Pasifik. Lalu secara spesifik mengapa terdapat goa di
tempat ini? Menurut saya beberapa alasan yang dapat dikemukaan antara
lain: pertama, jalur di tempat ini penting untuk dikuasai militer sebab sebagai tempat produksi hasil bumi bagi Kolonial Belanda (sekutu). Kedua,
Gunung Sadu merupakan lokasi pengintaian yang baik di bagain tengah
wilayah selatan karena dilalui jalur kereta api dan perlintasan jalan
raya yang menghubungkan antar Bandung Selatan (Ciwidey) dan Bandung
Utara (Kota Bandung, lalu menuju Lembang). Dan Ketiga wilayah
ini relatif banyak terdapat penduduk yang dapat dimanfaatkan tenaganya
(menjadi romusa) untuk membuat infrastruktur bagi kepentingan Militer
Jepang (seperti Goa dan pembukaan jalan baru).
Pemandangan indah dari atas kaki Gunung Sadu.
Pertimbangan tersebut membuat keberadaan goa
tersebut menjadi semacam pos penyergapan untuk merampas hasil bumi,
menguasai jalur distribusi pertanian serta perkebunan, dan sebagai
salah satu daerah penyedia ”sumber daya manusia”. Penduduk setempat
menyebut GoaJepang itu sebagai goa penuh kesengsaraan. Menurut
beberapa informan yang mengalami masa itu, peninggalan tersebut
merupakan situs sejarah yang paling teringat dimemori pikiran. Mengapa
tidak, karena penduduk yang terkena kerja paksa Jepang, menggali lubang
bermeter-meter siang dan malam tanpa kenal lelah. Belum lagi mereka
juga harus membuat benteng pertahanan dan jalan guna membantu
melancarkan aksi perang Tentara Dai Nippon. Makan pun kurang, kerap
kali malah tidak ada dengan waktu istirahat sebentar serta siksaan
fisik berat karen fasilitas hidup yang minim. Goa tersebut merupakan
salah satu ”cinderamata” paling pahit yang diterima Bangsa Indonesia
selama invasi Jepang. Sungguh derita yang paling tak terperi dan sulit
dibayangkan sepanjang masa.
Jalan setapak menuju Goa Jepang
Goa Yang Terabaikan.
Tidak seperti Goa Jepang yang terdapat di Perbukitan Dago Pakar dan
Gunung Kunci di Sumedang yang dijadikan tempat wisata, goa di Gunung
Sadu tidak mendapat perhatian sama sekali dari pemerintah setempat.
Paragraf sebelumnya menggambarkan bahwa goa itu sekarang hampir punah
karena tidak ada pihak manapun yang peduli dengan situs tersebut.
Apalagi menjadikan tempat tersebut sebagai situs bersejarah yang
dilindungi dan dipelihara oleh pemerintah setempat. Goa tersebut
dibiarkan hilang mengikuti perubahan jaman dan terkikis oleh proses
alam. Seolah kita tidak berusaha diingatkan kembali oleh hikmah sejarah
yang dapat dipetik dari keberadaan goa tersebut.
Maka tidak aneh sebenarnya banyak orang yang berada di dalam dan
luar daerah lain tidak mengetahui situs tersebut. Padahal jika ada
keinginan serius dari pemerintah setempat, goa tersebut dapat dijadikan
tempat wisata sejarah di wilayah Bandung Selatan. Namun apa daya,
melestarikan situs bersejarah dipadang tidak penting sebagai salah satu
sumber pengetahuan yang mesti diketahui serta dipelajari oleh generasi
selanjutnya.
Daftar Bacaan
Antlöv, Hans.
Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Arsip Nasional Republik Indonesia
1976 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Barat). Gajah Mada University Press.
Aryo S, Putut
2005 Pemenuhan Kebutuhan Air Rumah Tangga Di Perdesaan (Studi Kasus Di Desa Karamat Mulya, Kab. Bandung).
Skripsi. Jurusan Antropologi Sosial Universitas Padjadjaran (tidak diterbitkan).
Ingleson, John.
2002 Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja, dan Perkotaan Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu.
Kantor Kecamatan Soreang
2005 Data Monografi Kecamatan Soreang, Desa Karamat Mulya.
Lombart, Denys
2005 Nusa Jawa Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan (Jilid ke-I). Jakarta: Gramedia.
Ricklefs, M.C.
2005 Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press.
Sumber :
http://www.geocities.ws/jugunianfuindonesia/goasadu.html
|